Diasuh oleh : Ustaz M
Shidiq Al Jawi
Tanya:
Ustaz,
jika talak yang diucapkan suami terjadi pada
masa
haid istri, apakah itu masuk dalam hitungan qurû'
pertama
(saya mengikutipendapat tiga qurû adalah tiga kali
haid)
atau bagaimana? (Lilis Ika, Jakarta)
Jawab:
Sebelumnya
kami jelaskan dulu apakah talak yang dijatuhkan suami kepada istri yang sedang
haid itu statusnya jatuh talak atau tidak. Para ulama sepakat, suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya yang
sedang haid, suaminya berdosa, karena telah menjatuhkan talak yang diharamkan
syara', sesuai firman Allah SWT (yang artinya),
"Wahai Nabi! Apabila
kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka dalam
keadaan suci dan belum digauli (fa-thalliqûhunna li-'iddatihinna)!' (QS Ath
Thalaq : 1)
Namun ada khilâfiyah di
kalangan ulama mengenai jatuh tidaknya talak kepada istri yang haid tersebut;
Pertama, talaknya jatuh,
ini pendapat jumhur ulama, di antaranya ulama mazhab empat (Hanafiyyah,
Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah).
Kedua, talaknya tidak
jatuh, ini pendapat sebagian ulama, seperti Imam Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnul
Qayyim, Imam Syaukani, dan lain-lain.
Dalil pendapat pertama,
perintah Nabi SAW kepada
Ibnu Umar RA untuk merujuk
istrinya yang telah ditalak dalam keadaan haid. Perintah Nabi SAW untuk rujuk
ini tidak mungkin terjadi, kecuali talaknya sudah jatuh lebih dulu. Ibnu Umar
berkata, "Aku telah mentalak istriku sedang dia dalam keadaan haid. Maka Umar
menyampaiakan hal itu kepada Nabi SAW. Nabi SAW marah dan berkata kepada [Umar],"Perintahkan
dia untuk merujuk istrinya. (mur-hu falyurâji'hâ)... (HR Bukhari dan Muslim).
Imam Ibnu Hajar Al
Asqalani berkata,"Perkataan Nabi SAW,'Perintahkan dia untuk merujuk
istrinya,' menunjukkan telah jatuhnya talak, karena rujuk itu tidaklah terjadi
kecuali setelah jatuhnya talak. (Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Bâri, Juz IX, him.
355)
Dalil pendapat kedua,
bahwa mentalak istri yang sedang haid telah melanggar perintah Allah dalam
firman Allah SWT fa-thalliqúhunna li-'iddatihinna dalam QS Ath Thalaq : 1.
Makna fa-thalliqûhunna li-'iddatihinna, ceraikan istrimu dalam keadaan suci dan
belum digauli. Maka suami yang mentalak istrinya yang sedang haid, berarti ia
telah melakukan keharaman, sehingga talaknya tidak jatuh.
Pendapat yang râjih (lebih
kuat) menurut kami, pendapat jumhur ulama, yaitu suami yang mentalak istrinya
yang haid, talaknya tetap jatuh, dengan 2 (dua) alasan:
Pertama, terdapat dalâlah
(pengertian) yang jelas dari hadis Nabi SAW yang telah memerintahkan Ibnu Umar untuk
rujuk kepada istrinya yang ditalak saat haid. Padahal rujuk itu tidak terjadi,
kecuali talaknya sudah jatuh terlebih dahulu.
Kedua, talak yang
diharamkan oleh Allah, tidaklah menjadi pencegah (mani) dari jatuhnya talak,
karna keharaman bukanlah mani' bagi keabsahan hukum. Hal ini sebagaimana kasus
suami yang menzhihar istrinya (menganggap istrinya sebagai ibunya). Suami yang
menzhihar istrinya, telah melakukan keharaman (QS Al Mujadalah : 2). Namun
meski haram, zhihar-nya tetap sah, karena ada sanksi memerdekakan budak bagi
suami tersebut. (QS Al Mujadalah : 3).
Jadi, adanya keharaman bukanlah
mani' (pencegah) dari keabsahan hukum. Maka suami yang menjatuhkan talak kepada
istri haid, berarti telah melakukan keharaman, namun keharaman ini tidak
menjadi pencegah (mani') jatuhnya talak.
Jika penanya mengadopsi
pendapat ulama Hanafiyyah bahwa tiga qurû’ dalam QS Al Baqarah : 228 artinya
tiga kali haid, dan ini pula yang kami anggap ràjih, maka kaka penanya ditalak
dalam keadaan haid, haid ini dihitung haid pertama sebagai bagian dari masa
iddah yang lamanya tiga kali haid. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizhàm Altjtimà’i
fi Al Islâm, hlm. 174; 'Atha bin Khalil, Taisîr Al Wushûl llà Al Ushûl, hlm.
239). Wallahu a'lam.[]
Sumber :
Media Umat | Edisi 281, 17
Jumadil Awal – 1 Jumadil Akhir 1442 H / 1 – 14 Januari 2021
0 komentar:
Posting Komentar